Orang yang meninggal dunia dan belum berhaji dan umroh tidak lepas dari dua keadaan:
Pertama:
Saat hidup mampu berhaji atau umroh dengan badan dan hartanya sendiri maka orang yang seperti ini sangat dianjurkan bagi ahli warisnya untuk menghajikan dan mengumrohnya dengan harta si mayit.
Karena orang seperti ini adalah orang yang belum menunaikan kewajiban di mana ia mampu menunaikan haji dan umroh walaupun ia tidak mewasiatkan untuk menghajikannya maka keluarganya tetap sangat dianjurkan untuk membadalkannya.
Adapun jika si mayit pernah memberi wasiat agar ia kalau mati dapat dihajikan atau diumrohkan, maka kondisi ini lebih diperintahkan lagi. Dalil dari kondisi pertama ini adalah firman Allah Ta’ala,
“Mengerjakan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah, [yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah]” (QS. Ali Imran: 97)
Juga disebutkan dalam hadits shahih, ada seorang laki-laki yang menceritakan pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sungguh ada kewajiban yang mesti hamba tunaikan pada Allah. Aku mendapati ayahku sudah berada dalam usia senja, tidak dapat melakukan haji dan tidak dapat pula melakukan perjalanan. Apakah mesti aku menghajikannya?” “Hajikanlah dan umrohkanlah dia”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Ahmad dan An Nasai).
Kondisi orang tua dalam hadits ini telah berumur senja dan sulit melakukan safar dan amalan haji lainnya, maka tentu saja orang yang kuat dan mampu namun sudah keburu meninggal dunia lebih pantas untuk dihajikan.
Di hadits lainnya yang shahih, ada seorang wanita berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku bernadzar untuk berhaji. Namun beliau tidak berhaji sampai beliau meninggal dunia. Apakah aku mesti menghajikannya?” “Berhajilah untuk ibumu”, jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Ahmad dan Muslim)
Kedua:
Jika si mayit dalam keadaan miskin sehingga tidak mampu berhaji atau dalam keadaan tua renta sehingga semasa hidup juga tidak sempat berhaji. Untuk kasus semacam ini tetap disyari’atkan bagi keluarganya seperti anak laki-laki atau anak perempuannya untuk menghajikan orang tuanya. Alasannya sebagaimana hadits yang disebutkan sebelumnya.
Begitu pula dari hadits Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seseorang berkata, “Labbaik ‘an Syubrumah (Aku memenuhi panggilanmu atas nama Syubrumah), maka beliau bersabda, “Siapa itu Syubrumah?” Lelaki itu menjawab, “Dia saudaraku –atau kerabatku-”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bertanya, “Apakah engkau sudah menunaikan haji untuk dirimu sendiri?” Ia menjawab, ”Belum.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan, “Berhajilah untuk dirimu sendiri, lalu hajikanlah untuk Syubrumah.” (HR. Abu Daud). Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara mauquf (hanya sampai pada sahabat Ibnu ‘Abbas).
Jika dilihat dari dua riwayat di atas, menunjukkan dibolehkannya menghajikan orang lain baik dalam haji wajib maupun haji sunnah.
Adapun firman Allah Ta’ala,
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. An Najm: 39).
Ayat ini bukanlah bermakna seseorang tidak mendapatkan manfaat dari amalan atau usaha orang lain. Ulama tafsir dan pakar Qur’an menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah amalan orang lain bukanlah amalan milik kita.
Yang jadi milik kita adalah amalan kita sendiri. Adapun jika amalan orang lain diniatkan untuk lainnya sebagai pengganti, maka itu akan bermanfaat. Sebagaimana bermanfaat do’a dan sedekah dari saudara kita (yang diniatkan untuk kita) tatkala kita telah meninggal dunia. Begitu pula jika haji dan puasa sebagai pengganti untuk orang lain, maka itu akan bermanfaat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mati namun masih memiliki utang puasa, maka hendaklah ahli warisnya membayar utang puasanya.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari ‘Aisyah).
Hal ini khusus untuk ibadah yang ada dalil yang menunjukkan masih bermanfaatnya amalan dari orang lain seperti do’a dari saudara kita, bacaan Al Qur'an,sedekah, haji dan puasa.
Adapun ibadah selain itu, seperti kirim pahala sampai pahalanya kepada mayit atau tidak.
Menurut Imam Hambali sampai.
Sedangkan menurut Mazhab Imam Syafii pahalanya baru sampai jika diniatkan dan didoakan untuk si mayit.
Wallahul muwaffiq ila aqmamith thariq.
Ibadah membadalkan haji atau umroh bagi almarhum adalah salah satu bukti berbakti seorang anak kepada orangtuanya yg sudah tiada Bhakti dan takzim keluarga besar kepada almarhum yg sudah berpulang ke Rahmatullah..dengan penuh keikhlasan dan kekhusuan semoga kehidupan Rumah tangga'nya kita mendapatkan Ridho dan maqfiroh serta keberkahan kehidupan Dunia akhirat
Aamiin ya rabbal allamiin.
(Redaksi)